Apakah Dunia itu?
Jawabnya bisa macam-macam. Tapi sebagaimana jika merupakan soal pilihan ganda, jawaban yang benar pasti cuma satu. Apakah itu ? Marilah kita lihat sekeliling kita. Inilah dunia kita. Kita keluar dari rahim ibu kita, tumbuh besar, masuk sekolah, lulus, bekerja, menumpuk harta, membangun rumah dan memperindahnya, menikah, punya anak, dan anak kita pun kita didik agar jadi seperti kita atau lebih sukses daripada kita. Apakah hanya seperti itu dunia ini ?
Tentu Tidak !!!. Setiap sesuatu pasti ada kesudahannya. Begitu pula hidup kita di dunia ini. Kita sekolah, kuliah, bekerja, menumpuk harta, toh kita nanti juga akan mati. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian”. (QS: Ali 'Imraan: 185).
Dan ketika sudah mati, harta dan anak yang kita punyai tak bisa menyertai diri lagi. Mati itu kesudahan hidup. Tapi masalahnya, mati itu bukan kesudahan segala-galanya. Masih ada lagi masalah sesudah mati, yaitu hari kebangkitan, perhitungan amal, dan penentuan akhir nasib kita. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Kemudian Dia (Allah) mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”.(QS: 'Abasa : 21-22).
Dan Alloh subhanahu wa ta'ala juga berfirman, yang artinya: " Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam , supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka." (QS:Az-Zalzalah : 6).
Satu masalah lagi, amal yang akan dihitung dan ditimbang dan menentukan akhir nasib kita itu hanya bisa kita lakukan pada saat kita masih bisa menghembus nafas. Jika sudah tak bisa menghirup udara lagi, tak bisa pula kita mempersiapkan diri untuk hari itu.
Perkataan Ali bin Abi Thalib, " Sesungguhnya pada hari ini hanya ada amal tanpa perhitungan, dan besok (pada hari kiamat) hanya ada perhitungan tanpa amal."
Tentu Tidak !!!. Setiap sesuatu pasti ada kesudahannya. Begitu pula hidup kita di dunia ini. Kita sekolah, kuliah, bekerja, menumpuk harta, toh kita nanti juga akan mati. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian”. (QS: Ali 'Imraan: 185).
Dan ketika sudah mati, harta dan anak yang kita punyai tak bisa menyertai diri lagi. Mati itu kesudahan hidup. Tapi masalahnya, mati itu bukan kesudahan segala-galanya. Masih ada lagi masalah sesudah mati, yaitu hari kebangkitan, perhitungan amal, dan penentuan akhir nasib kita. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Kemudian Dia (Allah) mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”.(QS: 'Abasa : 21-22).
Dan Alloh subhanahu wa ta'ala juga berfirman, yang artinya: " Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam , supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka." (QS:Az-Zalzalah : 6).
Satu masalah lagi, amal yang akan dihitung dan ditimbang dan menentukan akhir nasib kita itu hanya bisa kita lakukan pada saat kita masih bisa menghembus nafas. Jika sudah tak bisa menghirup udara lagi, tak bisa pula kita mempersiapkan diri untuk hari itu.
Perkataan Ali bin Abi Thalib, " Sesungguhnya pada hari ini hanya ada amal tanpa perhitungan, dan besok (pada hari kiamat) hanya ada perhitungan tanpa amal."
Jadi, apakah dunia itu?
Dunia adalah tempat persinggahan yang sementara saja, tidak kekal untuk selamanya. Yunus bin Abi Ubaid menjelaskan permisalan dunia, " Kehidupan dunia hanya bisa disamakan dengan orang yang tidur, dalam mimpinya melihat hal-hal yang ia senangi sekaligus yang ia benci, tapi ketika sedang menikmatinya, tiba-tiba ia terjaga. " Suka-duka hidup ini semisal mimpi-mimpi itu. Sedangkan terjaga dari mimpi adalah misal dari kematian.
Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam memaparkan tentang dunia dan diri beliau, "Apalah aku dan dunia ini !, Sesungguhnya permisalan aku dengan dunia adalah seperti seorang pengendara yang tidur di bayangan sebuah pohon. Kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut." (HR: Ahmad, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
Umar bin Abdul-'Aziz berkata, " Dunia itu sesungguhnya bukan tempat yang kekal untuk kita. Allah sendiri telah menakdirkannya fana, dan kepada para penghuninya telah digariskannya hanya melewatinya saja."
Wahai saudaraku, dunia memang aset bagi umat manusia. Di dalamnya terkandung sebuah kekayaan, yakni bumi beserta segala isinya. Bumi sebagai tempat tinggal manusia, menyediakan kebutuhan sandang, pangan, minum dan tempat melangsungkan pernikahan. Semua itu, kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk perjalanan kendaraan yang akan membawa badan anda menuju Allah. Sebab manusia hanya bisa bertahan dengan itu semua, sebagaimana onta yang digunakan sebagai kendaraan haji hanya bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya. Ada di antara orang yang mengambil dari jatah kebutuhannya itu sebagaimana yang dianjurkan saja, dialah orang yang terpuji. Sementara ada pula orang yang mengambil dari jatah itu lebih dari kebutuhannya karena sifat rakusnya, orang yang demikian adalah tercela.
Dengan begitu, dia mengabaikan tujuan yang sebenarnya, dia tak lebih sebagai orang yang memberi makan onta, mengambilkan air minumnya dan menggantikan warna kelengkapan onta tersebut. Dia tak sadar bahwa rombongan telah berlalu, ditinggalkan seorang diri di gurun sebagai mangsa binatang buas bersama onta piaraannya.
Begitu pula dengan terlalu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan, juga tidak beralasan. Sebab onta tidak kan kuat berjalan, kecuali keperluannya terpenuhi. Jalan yang tepat adalah mengambil jalan tengah, yakni mengambil bekal dari kehidupan dunia sekedar yang dibutuhkan untuk perjalanan saja.
Ketika Abu Shafwan Ar-Ru'ainy ditanya, " Apakah dunia yang Allah cela dalam Al-Qur'an, dan yang harus dijauhi oleh orang yang berakal?" Dia menjawab, " Segala yang Anda senangi di dunia, yang dengannya Anda tidak menghendaki kehidupan di akhirat, itulah yang tercela. Dan segala kenikmatan dunia yang Anda senangi, yang dengannya Anda menghendaki kehidupan akhirat, maka yang demikian itu tidak termasuk kehidupan dunia."
Perjalanan. Begitulah dunia itu hakikatnya. Dan setiap perjalanan ada tempat tujuannya. Dan untuk menuju kepada tujuan itulah kita seharusnya menyiapkan bekal kita.
Di dalam khutbahnya, Umar Ibnul-Khaththab menyatakan, " Setiap perjalanan mesti ada bekalnya, maka bekalilah perjalanan Anda dari dunia ke akhirat dengan takwa. Jadilah seperti orang yang melihat dengan mata kepalanya adzab yang Allah persiapkan baginya untuk kemudian disadari dan tumbuh perasaan takut. Janganlah Anda terlalu lama membiarkan waktu berlalu sehingga hati Anda terlalu mengeras."
Dalam khutbahnya, Umar bin Abdul-Aziz berkata,"... Berapa banyak orang yang membangun dengan kokoh setelah berselang beberapa waktu roboh, dan berapa banyak orang yang hatinya telah tercuri, ingin hidup menetap akhirnya harus meninggalkannya. Maka usahakanlah perjalanan dari dunia itu sebaik-baiknya dengan bekal terbbaik yang Anda miliki. Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bila dunia memang bukan tempat menetap bagi orang mukmin, maka dia harus menempatkan dirinya pada salah satu dari sikap-sikap berikut. Harus bersikap seakan-akan orang asing yang menetap di sebuah negeri asing yang tujuannya semata-mata mengumpulkan bekal untuk pulangke tanah airnya, atau bersikap seakan-akan seorang pengembara yang sama sekali tidak menetap tapi sepanjang hari dia terus berjalan menuju sebuah negeri tempatnya menetap kelak."
Al-Hasan menjelaskan sifat-sifat dunia, " Alangkah nikmatnya kehidupan alam dunia bagi orang-orang mukmin. Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."
Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."
Marilah lihat diri sendiri, sudah punya bekalkah kita semua ?, atau kita baru saja sadar bahwa kita ini ternyata hanyalah seorang pengembara yang harus kembali ke tanah airnya dan ternyata kita belum punya bekal secuilpun ! Wahai saudara, harta, istri, dan anak kita bukanlah bekal yang bisa kita bawa jika sudah tiba waktunya, tapi takwa itulah yang bisa menyertai kita.
Hasan bin 'Ali bercerita bahwa Fudhail bin Iyadl bertanya kepada seorang lelaki, "Berapa umurmu ?"
" Enam puluh tahun," jawab lelaki itu.
Lalu Fudhail berkata, "Sesungguhnya engkau telah enam puluh tahun menuju Tuhanmu, dan kini kau hampir sampai."
Lelaki itu berkata, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun ( Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepadaNya lah kita akan kembali )."
"Tahukah engkau bagaimana tafsirnya ?" tanya Fudhail.
"Tafsirkanlah kepada kami, wahai Abu 'Ali ( panggilan Fudhail) !" pinta si lelaki.
"Jika engakau mengatakan 'inna lillaahi' berarti engkau telah mengikrarkan bahwa engkau adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala, dan kepada Allohlah engaku akan kembali. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala dan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dia akan kembali, maka ketahuilah bahwa ia akan mati. Dan barangsiapa yang mengetahui ia akan mati, maka ketahuilah ia akan ditanya. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya, maka bersiap-siaplah untuk menjawabnya."
"Lalu bagaimana cara kami mempersiapkannya ?" tanya lelaki itu lagi.
" Penuhilah !" jawab Fudhail.
" Apa yang harus kupenuhi ? " tanyanya.
Fudhail menjawab, "Perbaikilah amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu di masa lalu dan yang akan datang. Dan jika engkau memperjelek amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Alloh kan menyiksamu lantaran dosa-dosamu yang telah kamu perbuat di masa lalu dan yang akan datang. "
Takwa yang merupakan bekal perjalanan ini adalah berujud sebagai amalan -amalan sholih. Maka marilah ingati hal ini. Beramallah dengan bagus, dengan niat yang ikhlas dan sesuai syari'at.
Seperti seorang pengembara yang akan pulang menuju negerinya, ia harus mengetahui kiat-kiat dan cara-cara mempersiapkan bekal yang tepat agar bekal yang ia bawa dapat memberi manfaat bagi dirinya. Jangan sampai bekal yang ia bawa mengundang perampok - perampok yang akan menghabisi dirinya. Jangan pula bekal yang ia bawa dapat diendus binatang buas yang akan menggerogoti bekalnya. Maka untuk menghindari hal itu, sang pengembara harus tahu bagaimana mempersiapkan bekal yang tepat. Ia harus tahu ilmunya dulu.
Semisal itulah kita, agar amalan - amalan yang kita lakukan benar-benar dapat memberi manfaat bagi diri kita, kita harus tahu kiat-kiat dan cara-cara beramal sholih yang tepat. Jangan sampai kita melakukan amal sholih tapi tidak diniatkan kepada Allah. Jangan pula kita sudah berpayah - payah beramal sholih tapi ternyata tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sehhingga amalan kita tidak diterima.
Lalu bagaimana untuk tahu cara-cara dan kiat-kiat beramal tersebut ? Reguklah ilmu -ilmu agama, bertamasyalah ke majelis -majelis pengajian, bercengkeramalah dengan ahli -ahli ilmu agama, niscaya kita akan tahu bekal bagaimanakah yang harus kita punyai untuk kembali ke haribaan Ilahi nanti.
Jadi ? Inilah dunia kita. Yang sebenarnya hanyalah tempat persinggahan sementara saja. Walaupun begitu, kita diperbolehkan mengambil perbendaharaan dunia secukupnya saja dan hanya yang halal saja. Namun, ingatlah, setelah itu kita akan kembali pada Yang Maha Pencipta dan kita akan ditanyai, amal akan dihitung, nasib akan ditentukan, ke neraka ataukah ke surga ?. Supaya kita sukses dalam perjalanan ini, maka bekal terbaik adalah takwa di mana ia adalah amalan - amalan sholih. Dan agar bekal amal sholih tersebut terhindar dari perampok syirik dan serigala bid'ah, maka kita harus tahu cara-cara mempersiapkannya. Sedangkan cara-cara tersebut hanya bisa diketahui lewat regukan-regukan ilmu agama di majelis-majelis taklim.
Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam memaparkan tentang dunia dan diri beliau, "Apalah aku dan dunia ini !, Sesungguhnya permisalan aku dengan dunia adalah seperti seorang pengendara yang tidur di bayangan sebuah pohon. Kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut." (HR: Ahmad, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
Umar bin Abdul-'Aziz berkata, " Dunia itu sesungguhnya bukan tempat yang kekal untuk kita. Allah sendiri telah menakdirkannya fana, dan kepada para penghuninya telah digariskannya hanya melewatinya saja."
Wahai saudaraku, dunia memang aset bagi umat manusia. Di dalamnya terkandung sebuah kekayaan, yakni bumi beserta segala isinya. Bumi sebagai tempat tinggal manusia, menyediakan kebutuhan sandang, pangan, minum dan tempat melangsungkan pernikahan. Semua itu, kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk perjalanan kendaraan yang akan membawa badan anda menuju Allah. Sebab manusia hanya bisa bertahan dengan itu semua, sebagaimana onta yang digunakan sebagai kendaraan haji hanya bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya. Ada di antara orang yang mengambil dari jatah kebutuhannya itu sebagaimana yang dianjurkan saja, dialah orang yang terpuji. Sementara ada pula orang yang mengambil dari jatah itu lebih dari kebutuhannya karena sifat rakusnya, orang yang demikian adalah tercela.
Dengan begitu, dia mengabaikan tujuan yang sebenarnya, dia tak lebih sebagai orang yang memberi makan onta, mengambilkan air minumnya dan menggantikan warna kelengkapan onta tersebut. Dia tak sadar bahwa rombongan telah berlalu, ditinggalkan seorang diri di gurun sebagai mangsa binatang buas bersama onta piaraannya.
Begitu pula dengan terlalu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan, juga tidak beralasan. Sebab onta tidak kan kuat berjalan, kecuali keperluannya terpenuhi. Jalan yang tepat adalah mengambil jalan tengah, yakni mengambil bekal dari kehidupan dunia sekedar yang dibutuhkan untuk perjalanan saja.
Ketika Abu Shafwan Ar-Ru'ainy ditanya, " Apakah dunia yang Allah cela dalam Al-Qur'an, dan yang harus dijauhi oleh orang yang berakal?" Dia menjawab, " Segala yang Anda senangi di dunia, yang dengannya Anda tidak menghendaki kehidupan di akhirat, itulah yang tercela. Dan segala kenikmatan dunia yang Anda senangi, yang dengannya Anda menghendaki kehidupan akhirat, maka yang demikian itu tidak termasuk kehidupan dunia."
Perjalanan. Begitulah dunia itu hakikatnya. Dan setiap perjalanan ada tempat tujuannya. Dan untuk menuju kepada tujuan itulah kita seharusnya menyiapkan bekal kita.
Di dalam khutbahnya, Umar Ibnul-Khaththab menyatakan, " Setiap perjalanan mesti ada bekalnya, maka bekalilah perjalanan Anda dari dunia ke akhirat dengan takwa. Jadilah seperti orang yang melihat dengan mata kepalanya adzab yang Allah persiapkan baginya untuk kemudian disadari dan tumbuh perasaan takut. Janganlah Anda terlalu lama membiarkan waktu berlalu sehingga hati Anda terlalu mengeras."
Dalam khutbahnya, Umar bin Abdul-Aziz berkata,"... Berapa banyak orang yang membangun dengan kokoh setelah berselang beberapa waktu roboh, dan berapa banyak orang yang hatinya telah tercuri, ingin hidup menetap akhirnya harus meninggalkannya. Maka usahakanlah perjalanan dari dunia itu sebaik-baiknya dengan bekal terbbaik yang Anda miliki. Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bila dunia memang bukan tempat menetap bagi orang mukmin, maka dia harus menempatkan dirinya pada salah satu dari sikap-sikap berikut. Harus bersikap seakan-akan orang asing yang menetap di sebuah negeri asing yang tujuannya semata-mata mengumpulkan bekal untuk pulangke tanah airnya, atau bersikap seakan-akan seorang pengembara yang sama sekali tidak menetap tapi sepanjang hari dia terus berjalan menuju sebuah negeri tempatnya menetap kelak."
Al-Hasan menjelaskan sifat-sifat dunia, " Alangkah nikmatnya kehidupan alam dunia bagi orang-orang mukmin. Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."
Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."
Marilah lihat diri sendiri, sudah punya bekalkah kita semua ?, atau kita baru saja sadar bahwa kita ini ternyata hanyalah seorang pengembara yang harus kembali ke tanah airnya dan ternyata kita belum punya bekal secuilpun ! Wahai saudara, harta, istri, dan anak kita bukanlah bekal yang bisa kita bawa jika sudah tiba waktunya, tapi takwa itulah yang bisa menyertai kita.
Hasan bin 'Ali bercerita bahwa Fudhail bin Iyadl bertanya kepada seorang lelaki, "Berapa umurmu ?"
" Enam puluh tahun," jawab lelaki itu.
Lalu Fudhail berkata, "Sesungguhnya engkau telah enam puluh tahun menuju Tuhanmu, dan kini kau hampir sampai."
Lelaki itu berkata, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun ( Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepadaNya lah kita akan kembali )."
"Tahukah engkau bagaimana tafsirnya ?" tanya Fudhail.
"Tafsirkanlah kepada kami, wahai Abu 'Ali ( panggilan Fudhail) !" pinta si lelaki.
"Jika engakau mengatakan 'inna lillaahi' berarti engkau telah mengikrarkan bahwa engkau adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala, dan kepada Allohlah engaku akan kembali. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala dan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dia akan kembali, maka ketahuilah bahwa ia akan mati. Dan barangsiapa yang mengetahui ia akan mati, maka ketahuilah ia akan ditanya. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya, maka bersiap-siaplah untuk menjawabnya."
"Lalu bagaimana cara kami mempersiapkannya ?" tanya lelaki itu lagi.
" Penuhilah !" jawab Fudhail.
" Apa yang harus kupenuhi ? " tanyanya.
Fudhail menjawab, "Perbaikilah amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu di masa lalu dan yang akan datang. Dan jika engkau memperjelek amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Alloh kan menyiksamu lantaran dosa-dosamu yang telah kamu perbuat di masa lalu dan yang akan datang. "
Takwa yang merupakan bekal perjalanan ini adalah berujud sebagai amalan -amalan sholih. Maka marilah ingati hal ini. Beramallah dengan bagus, dengan niat yang ikhlas dan sesuai syari'at.
Seperti seorang pengembara yang akan pulang menuju negerinya, ia harus mengetahui kiat-kiat dan cara-cara mempersiapkan bekal yang tepat agar bekal yang ia bawa dapat memberi manfaat bagi dirinya. Jangan sampai bekal yang ia bawa mengundang perampok - perampok yang akan menghabisi dirinya. Jangan pula bekal yang ia bawa dapat diendus binatang buas yang akan menggerogoti bekalnya. Maka untuk menghindari hal itu, sang pengembara harus tahu bagaimana mempersiapkan bekal yang tepat. Ia harus tahu ilmunya dulu.
Semisal itulah kita, agar amalan - amalan yang kita lakukan benar-benar dapat memberi manfaat bagi diri kita, kita harus tahu kiat-kiat dan cara-cara beramal sholih yang tepat. Jangan sampai kita melakukan amal sholih tapi tidak diniatkan kepada Allah. Jangan pula kita sudah berpayah - payah beramal sholih tapi ternyata tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sehhingga amalan kita tidak diterima.
Lalu bagaimana untuk tahu cara-cara dan kiat-kiat beramal tersebut ? Reguklah ilmu -ilmu agama, bertamasyalah ke majelis -majelis pengajian, bercengkeramalah dengan ahli -ahli ilmu agama, niscaya kita akan tahu bekal bagaimanakah yang harus kita punyai untuk kembali ke haribaan Ilahi nanti.
Jadi ? Inilah dunia kita. Yang sebenarnya hanyalah tempat persinggahan sementara saja. Walaupun begitu, kita diperbolehkan mengambil perbendaharaan dunia secukupnya saja dan hanya yang halal saja. Namun, ingatlah, setelah itu kita akan kembali pada Yang Maha Pencipta dan kita akan ditanyai, amal akan dihitung, nasib akan ditentukan, ke neraka ataukah ke surga ?. Supaya kita sukses dalam perjalanan ini, maka bekal terbaik adalah takwa di mana ia adalah amalan - amalan sholih. Dan agar bekal amal sholih tersebut terhindar dari perampok syirik dan serigala bid'ah, maka kita harus tahu cara-cara mempersiapkannya. Sedangkan cara-cara tersebut hanya bisa diketahui lewat regukan-regukan ilmu agama di majelis-majelis taklim.